Istishab Sebagai Metodologi Ijtihad


Kehidupan manusia bersifat dinamis, selalu bergerak maju menuju perubahan dalam berbagai aspek. Perubahan yang terjadi, secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan persoalan baru dibidang hukum yang tidak akan kunjung usai. Namun di sisi lain, sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan as-Sunnah sangat terbatas dan tidak mungkin terjadi penambahan.

Pada posisi ini, Ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk menjaga komprehensifitas dan universalitas Islam. Makalah ini ingin menunjukkan bahwa Istishab sebagai salah satu metode Ijtihad memiliki posisi yang sangat strategis dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang muncul.

Salah satu sumber hukum yang diperdebatkan nilai kehujahannya adalah istishab. Bagi kelompok ulama yang menolak istishab sebagai dalil hukum, berpandangan bahwa istishab tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai dalil hukum, karena ia hanya didasarkan pada hukum yang bersifat dugaan, bukan didasarkan pada fakta.

Sedangkan kelompok ulama yang menerima istishab sebagai dalil hukum, berpandangan bahwa ia menjadi salah satu alternatif penentuan hukum Islam ketika dalil hukum tidak ditemukan dalam al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas.

Syaikh Abu Zahrah menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahannya.

Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat).

Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat). Mereka menggunakan Alquran, Hadis, Ijmâ’, dan akal, untuk memperkuat pandangannya.

Sedangkan menurut Mustafa Sa’id al-Khani, selain pendapat dari dua kelompok ulama diatas, terdapat pendapat lain yaitu pendapat Sebagian ulama Hanafiyah dan Sebagian ulama Syafi’iyyah dan Abi Husain al-Basri serta sekelompok ulam Mutakallimin yang menyatakan bahwa istishab tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum baik untuk menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada atau menetapkan hukum yang belum ada. Argumentasi mereka adalah bahwa status hukum halal atau haram adalah hukum syara’ yang harus didasarkan pada justifikasi tekstual yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits.

Menurut Saifuddin al-Amidi, pendapat ulama yang menyatakan bahwa istishab bisa dijadikan hujjah hukum merupakan pendapat yang ia pilih. lebih lanjut, al-Amidi menyatakan bahwa adanya hukum pada masa lalu menjadikan dasar adanya dugaan kuat (zann) bahwa hukum itu masih berlaku hingga saat ini. Menurutnya, dugaan kuat (zann) merupakan dasar yang bisa dijadikan pegangan dalam syariat.

Lebih lanjut al-Amidi menyimpulkan bahwa dasar istishab adalah:

الاصل في جميع الاحكام الشرعية انما هو العدم وبقاؤما كان علي ما كان الا ما ورد الشارع

“Asal dari semua hukum syara’ adalah ketiadaan dan tetapnya sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan sebelumnya”.

Dalam pandangan ‘Abd al-Wahhab Khallaf, penolakan ulama tentang kehujjahan istishab al-wasf karena pendasaran istishab itu hanya pada asumsi-asumsi (i’tibar) yang bersifat spekulatif (zanni) bukan pada fakta. Pendapat ini bisa dibuktikan secara empiris dimana salah satu contohnya adalah para hakim menjadikan istishab sebagai salah satu metode penetepan hukum, dimana salah satu pertimbangan dalam menetapkan status hak kepemilikan hakim didasarkan pada bukti akta (sertifikat hak milik) yang telah disahkan pada waktu yang lalu.

Sementara itu, kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil hukum, mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah bahwa menyandarkan hukum pada istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan selalu bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.

0 Komentar