Menjaga Eksistensi Budaya Literasi


Budaya berasal dari bahasa sansekerta yakni " buddhayah, bentuk jamak dari Buddhis yang dapat di artikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan Budi dan akal manusia. Dalam Islam sendiri, budaya memiliki tempat tersendiri yang masih tetap di jaga dan dilestarikan selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan syari'at Islam.

Budaya ketimuran yang semenjak dulu di kembangkan oleh Walisongo di Indonesia dan di teruskan kembali oleh generasi setelahnya sampai masa kita saat ini, telah mengalami pergeseran budaya yang cukup mengkhawatirkan. Para penduduk pemuda Indonesia, terutama kawula remaja saat ini sudah banyak yang meninggalkan budaya Islami dan mengagungkan budaya lain yang mengatasnamakan HAM dan kebebasan mutlak tanpa batas. Termasuk dampak dari globalisasi adalah percampuran budaya timur dan barat, artinya tidak ada pembeda di antara keduanya.

Gerakan literasi adalah sebuah gebrakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menjawab Gerakan Reformasi Mental Nasional (GRMN) yang tertuang dalam program NAWACITA. Keseriusan presiden Jokowi melakukan reformasi mental terbukti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada satuan pendidikan formal.

Kemendikbud selaku nakhoda pendidikan di Indonesia mengejawantahkannya lewat penerbitan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal. Sebelumnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Kedua Permendikbud tersebut menjadi acuan bagi satuan pendidikan untuk melaksanakan Gerakana Literasi Sekolah (GLS).

Sebagai bagsa besar, tentunya harus menghormati dan melestarikan budayanya sendiri tanpa terpengaruh oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan aliran dan ajaran serta kebudayaan tradisional bangsa itu sendiri, khususnya Indonesia.

Memikirkan keberlangsungan masa depan organisasi, menyampaikan unek-unek dan kegelisahan serta menggambar konsepsi melalui tulisan. Begitulah seharusnya watak dan ciri kader pergerakan. Mengamalkan salah satu trilogi PMII tentang fikir. Salah satu indikator manusia mampu "benar-benar" berfikir adalah menulis. Menulis apapun merupakan wujud kemampuan kita menjadi seorang manusia, apalagi tulisan kita bermanfaat untuk khalayak luas.

Alangkah malunya kita sebagai kader PMII yang mengetahui bahwa Sahabat Mahbub Djunaidi adalah seorang penulis, sedangkan kita sebagai generasi penerusnya tidak mampu menulis. Padahal menulis itu sangat penting, bahkan untuk memunculkan sebuah peperangan bisa diawali dengan tulisan yang disebar di berbagai media.

Penulis: M S Qidmaya

0 Komentar