Sakralnya Sebuah Baiat


Teringat sebuah kalimat sakral yang kurang lebih sudah 6 kali penulis ucapkan (Mapaba 2 kali, PKD 3 kali, PKL 1 kali) selama mengikuti proses aktualisasi guna mengembangkan diri dan mengabdi pada organisasi yang disebut Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Kalimat sederhana namun penuh makna yang tersirat maupun tersurat pada setiap kata yang melekat pada kalimat tersebut. Karena tatkala kalimat tersebut sudah keluar dari mulut sang pengucap, maka detik itu pula ia mengiktikadkan diri akan mempertanggungjawabkan segala tindak-tanduknya kepada pimpinan organisasi dan tentunya kepada Allah SWT kelak di akhirat nanti.

“Ketidak patuhan kepada pimpinan organisasi adalah suatu bentuk pengkhiantan kepada organisasi, yang pasti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT”. Penggalan kalimat yang terdapat pada teks baiat PMII. Kalimat tersebut merupakan salah satu pelajaran yang harus dipegang dan diamalkan oleh warga PMII dalam melaksanakan aktivitas organisasi.

Namun, sebagai kaum intelektual tentunya tidak dengan mudah menelan mentah-mentah kalimat tersebut, perlu kiranya sebuah usaha untuk menimbang dan memilah serta memilih perintah dari pimpinan organisasi. Ketika perintah tersebut sudah berlandaskan pada peraturan yang “mengikat” sebuah organisasi formal, maka sebagai warga yang baik kiranya berkenan untuk melaksanakan perintah tersebut.

Akan tetapi jikalau perintah yang dikeluarkan masih dianggap “bersengketa” dengan peraturan diatasnya, maka sebagai warga yang baik pula kiranya sudi untuk sekedar mengingatkan kembali kepada pimpinan organisasi untuk menegakkan supremasi peraturan organisasi.

Nah jadi disini saya akan membedah apa sih baiat itu, lantas di zaman nabi baiat itu bagaimana hhhh. Soalnya penulis mengamati banyak yang mengimplementasikan baiat di keistiqomahan berorganisasi tidak se bagaimana semestinya ketika pas di baiat, penasaran kan..!! Yuk langsung saja kita kupas tentang baiat tsb.

Pengertian Bai’at

Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al-Muqaddimah, ”Baiat ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum Muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”

Masalah baiat ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan baiatnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.

Ketika Rasulullah SAW diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SAW berbaiat kepada Rasul untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbaiat untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al-Qur’an, sunnah dan sejarah perjalanan hidup Nabi umat ini.

Ketika Rasulullah wafat, baiat untuk senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum Muslimin berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibaiat oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.

Islam benar-benar telah menjaga masalah baiat ini dengan pagar kokoh yang dapat membentengi pembatalan atau main-main dengan persoalan baiat. Rasulullah SAW mengharamkan perbuatan membatalkan baiat. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang mencabut tangannya dari mentaati imam (tidak mau taat kepada imam), maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat." (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim)

Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan berbaiat, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta.

Jika sudah berbaiat kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapa pun adanya.

Oleh karenanya Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang itu." (HR Imam Muslim)

Rasulullah juga bersabda, "Jika ada dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang dibaiat terakhir." (HR Muslim).

Baiat untuk mendengar dan taat ketika Nabi SAW masih hidup, hanyalah ditujukan kepada beliau. Kemudian setelah beliau wafat, maka hak menerima baiat itu dimiliki khalifah-khalifah pengganti beliau. Demikian juga menjadi hak para penguasa kaum Muslimin yang memiliki wilayah—baik dalam lingkup dunia maupun satu wilayah negara—dan ia memiliki kekuasaan dalam menegakkan agama, hudud, mengumumkan jihad, dan semacamnya.

Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah sebagaimana yang ada pada zaman ini. Karena baiat taat yang dilakukan Salafush Shalih hanyalah diberikan kepada penguasa kaum Muslimin. Dengan demikian, orang-orang yang digelari imam, syekh, amir, ustadz, atau semacamnya yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya, sedangkan mereka tidak memiliki wilayah dan kekuasaan sedikitpun, maka mereka sama sekali tidak berhak dibaiat. Baiat kepada mereka merupakan bid’ah dan memecah-belah umat.

Adapun jika ada imam yang nyata keberadaannya dan disepakati oleh ahlul halli wal-aqdi (tokoh-tokoh kaum muslimin), ia memiliki wilayah dan kekuasaan serta menegakkan syariat, maka kaum Muslimin wajib berbaiat untuk taat kepada imam yang disepakati ini. Konsekuensi baiat ini, ialah taat kepada imam dalam perkara makruf, dalam keadaan suka maupun benci, berat maupun susah, dan tidak melakukan pemberontakan kepadanya. Meninggalkan baiat kapada imam ini merupakan dosa besar. Demikian secara ringkas pembahasan baiat yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.

Seorang Muslim yang mengikuti jalan kaum mukminin (generasi pertama), dalam hal al-wala’ wal-bara’, berangkat dari dua kaidah penting, yaitu:

Kaidah Pertama: "Sesungguhnya wali (penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (QS Al-Maidah: 55-56)

Kaidah Kedua: "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujadalah: 22)

Jadi, ikatan ukhuwah merupakan tempat ikatan al-wala’ wal-bara’. Ketika ikatan al-wala’ wal-bara’ itu terjalin bukan karena ukhuwah, maka tali ukhuwah akan terlepas.

0 Komentar