Renyahnya Isu Agama di Kalangan Para Politisi


Jika berbicara mengenai agama, Indonesia adalah negara yang mewajibkan rakyatnya untuk memeluk atau meyakini satu agama saja. Keberagaman agama di Indonesia tanpa sadar seakan memaksa rakyatnya untuk memilih satu keyakinan yang tanpa sadar melahirkan kubu mayoritas dan minoritas. Lahirnya dua kubu di antara masyarakat juga melahirkan masalah-masalah baru. Berbagai isu perihal agama menjadi topik yang hangat bahkan sangat menarik di kalangan masyarakat. 

Kementerian Agama (Kemenag) adalah kementerian yang seksi karena hal-hal yang menyangkut soal agama merupakan hak dasar umat beragama yang bisa menjadi isu sensitif. Bagi media dan publik, isu-isu agama itu sangat seksi, kata Kepala Biro Humas Data dan Informasi (HDI) Kemenag RI, H. Mastuqi HS pada Forum Group Discussion (FGD) Kehumasan Kemenag.

Fenomena saat ini, masyarakat kita mengalami peningkatan gairah keberagamaan dan ketertarikan menunjukan simbol agama, terutama di daerah perkotaan. Ditambah lagi munculnya aktivitas-aktivitas keagamaan di media sosial, seperti ngaji online, dakwah streaming, komunitas makanan halal dan lainnya membuat Kemenag khususnya bidang kehumasan harus lebih melek terhadap informasi yang sedang trend di masyarakat.

Isu agama hari ini tak pernah lepas dari kancah perpolitikan lokal ataupun nasional di Indonesia. Manifestasi politik identitas dengan menggunakan agama sebagai elemen utamanya, telah mewarnai iklim perpolitikan sejak era kemerdekaan.

Meminjam istilah Cressida Heyes (2007), yang dimaksud dengan politik identitas adalah penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu. Sementara itu, dalam pandangan Agnes Haller (1995), politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu ketegori politik yang utama.

Budi Kurniawan mencatat pada artikelnya yang berjudul “Politisasi Agama di Tahun Politik: Politik Pasca-Kebenaran di Indonesia dan Ancaman Bagi Demokrasi,” dalam Jurnal Sosiologi Agama Vol 12, No 1, Januari-Juni 2018, mecatat politisasi agama mencapai titik kulminasinya pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017. Sejak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta, Sentimen agama mulai dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politiknya. 

Serangkaian akrobat dan manuver politik yang menyerat agama pun tak terelakkan selama tahun politik. Mulai dari Gerakan #2019GantiPresiden yang mengunggunakan simbol dan fasilitas ibadah, dikotomi partai Allah dan partai setan, dikotomi poros Makkah dan poros Beijing, dan kampanye surga neraka, hingga deklarasi ulama ke salah satu pasangan calon.

Menurut hemat saya, polarisasi yang melibatkan kaum ‘Islamis’ dan nasionalis sekuler, tampaknya memang akan ‘sengaja’ dipertahankan, untuk menjaga ritme dan sentimen di masing-masing kubu, tidak hanya di kalangan partai Islam, tetapi juga partai nasionalis dan sekuler itu sendiri. Apalagi, perjalanan menuju 2024 masih memberikan space waktu yang cukup, para partisan politik meliputi politisi, pemodal, hingga para oportunis ‘mengangkangi’ agama demi memenuhi syahwat politik mereka. Tiap kubu akan mempunyai alibi, justifikasi, dan aneka argumentasi dalam memperkosa teks-teks agama yang suci, baik dengan pembacaan tekstual atau substansial menurut klaim mereka.   

Pendidikan politik kita menuju 2024, akan disesaki dengan nuansa sentimen-sentimen keagamaan, narasi-narasi yang menunggangi agama, dari masing-masing pihak berkepentingan. Kedewasaan politik yang mestinya bertumpu pada capaian dan prestasi, kegagalan dan kekurangan, pada akhirnya akan diarahkan kepada agitasi kubu yang berbeda dengan pelabelan anti-Islam, sementara kubu lainnya membalas dengan pelabelan kadrun yang suka politisasi agama, padahal sekali lagi, disadari atau tidak, sepakat atau tidak sepakat, kita terjebak dalam politisasi agama dengan sisi yang berbeda. 

0 Komentar