Lebur dalam Akur: Sekeping Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia


Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bhinneka tunggal ika. Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.

Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan atas dasar kesadaran, sadar akan senasib sependeritaan, sama-sama dizalimi, dirugikan, dicampakkan, dikacangin, ditikung, diapusi, ditinggal rabi, ditambah lagi kalau jatuh, iseh diguyu kancane.

Bangsa ini kompleks betul problematikanya. Ada juga dasar Indonesia merdeka karena pribuminya sadar akan nilai kemanusiaan. Kok bisa? Kan manusia tercipta dari materi tunggal, yakni tanah. Tanah sendiri juga banyak macamnya. Ada yang lempung, pasir, lumpur, kavlingan, warisan, bahkan tanah hasil persengketaan. Benar, Tunggal tetapi beragam. 

Sama-sama manusia, bermacam perangainya. Ada yang legowo bin neriman, disenggol sitik langsung bacok, yang satu bikin kelakar, dikira yang lain sebuah makar.

Leluhur pribumi nusantara, layaknya dikisahkan di buku pelajaran IPS siswa SD secara halus mengajarkan kita (manusia) haus akan harta, takhta, wanita. Jika direlevansikan dengan kondisi kiwari, akan ada penambahan berupa meluru pendukung/massa, popularitas, dana kemahasiswaan, kepingin nyaleg, daftar CPNS, pascakuliah ngebet nikah, sibuk cari batu loncatan, dan masih banyak lagi.

Selaku keturunan penghuni surga yang tahu diri nan bagus pekerti, mesti pandai-pandai memetik ibrah di masa lalu. Disindir dalam kitab suci berkali-kali kok masih bebal. Afalaa tatafakkaruun. 

Gelar yang tersemat di pundak sebagai khalifah fil ardh hanya bualan. Kadang dibuat prihatin. Dilegalkan bak Ahsani Taqwim, yang dilegalkan belot jadi minal munafiqin.

Indonesia berdiri di atas pluralisme. Andaikata pijakannya lenyap, pasti terpelanting. Kodrat manusia adalah bergerak, tidak tetap, berubah-ubah. Homogenitas bukan kodrat manusia, dan homogenisasi adalah pencederaan kodrat itu sendiri.

Penulis : Fikri Musoffa

0 Komentar